Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera,
Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan
Islam
yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera,
kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh
Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267
dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis
pada tahun 1521.
Raja pertama bernama Sultan Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297
M[1], kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh
Sultan Malik at-Thahir.
Kesultanan Samudera-Pasai juga
tercantum dalam kitab Rihlah ila
l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu
Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah di Samudera
pada tahun 1345.
Ibn Batuthah bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh
keramahan. Menurut Ibn Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab
Syafi`i[2].
Belum begitu banyak bukti dan
berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.[3] Bukti, data dan informasi tentang keberadaan
kerajaan Samudera Pasai terutama diperoleh dari tiga sumber utama:
1. Prasasti Minye Tujoh di Pasai
dan batu-batu nisan kuno berkaligrafi Arab
di Komplek Makam Raja-Raja Samudera Pasai;
2. Mata uang emas (Dirham) peninggalan Kesultanan Pasai
yang memberi informasi nama Sultan yang sedang memerintah dan tahun
pemerintahan
3.
Inskripsi kuno dari
Kerajaan Islam di Sumatera, Jawa
dan Kalimantan
tentang kaitan penyebaran Islam di Indonesia dengan ulama dari Kerajaan
Samudera Pasai, misalnya Babad Tanah Jawi, dan Hikayat
Banjar.
Pada Prasasti Minye Tujoh, berangka tahun 1380M, selain menyebutkan
mangkatnya seorang raja Pasai, juga menyebutkan bahwa kekuasaan Samudera
Pasai pada masa itu mencakupi wilayah Pasai
dan Kedah,
Malaysia.
Informasi pada prasasti tersebut menunjukkan bahwa Samudera
Pasai tumbuh dan berkembang sebagai kota pelabuhan yang memiliki
kepentingan terhadap perdagangan di Selat
Malaka
KERAJAAN DEMAK
Demak adalah kesultanan atau kerajaan
islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah
(1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit
yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini
didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar,
pendakwah islam paling awal di pulau jawa.
Atas bantuan daerah-daerah lain
yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, Raden
patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat
itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan
proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar
Sultan Syah Alam Akbar.
Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan
Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri kepada raja Brawijaya V
di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita
dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya
sangat tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak
pertentangan dalam istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah
tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa
(sekarang bernama kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Sang permaisuri memiliki ketidak
cocokan dengan putri pemberian Kaisar yan Lu. Akhirnya dengan berat hati raja
menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung, sang
putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Nah di sanalah Raden
Patah dilahirkan dari rahim sang putri cina.
Nama kecil raden patah adalah
pangeran Jimbun. Pada masa mudanya raden patah memperoleh pendidikan yang
berlatar belakang kebangsawanan dan politik. 20 tahun lamanya ia hidup di
istana Adipati Palembang. Sesudah dewasa ia kembali ke majapahit.
Raden Patah memiliki adik
laki-laki seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah
bersama adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Mereka mendarat
di pelabuhan Tuban pada tahun 1419 M.
Patah sempat tinggal beberapa
lama di ampel Denta, bersama para saudagar muslim ketika itu. Di sana pula ia
mendapat dukungan dari utusan Kaisar Cina, yaitu laksamana Cheng Ho yang juga
dikenal sebagai Dampo Awang atau Sam Poo Tai-jin, seorang panglima muslim.
Raden patah mendalami agama
islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku (Sunan Giri), Makhdum
ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap lulus,
raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia
diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah
memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh
Walisanga sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa.
Di Bintara, Patah juga
mendirikan pondok pesantren. Penyiaran agama dilaksanakan sejalan dengan
pengembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan, daerah tersebut menjadi pusat
keramaian dan perniagaan. Raden patah memerintah Demak hingga tahun 1518, dan
Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak pemerintahannya.
Secara beruturut-turut, hanya
tiga sultan Demak yang namanya cukup terkenal, Yakni Raden Patah sebagai raja
pertama, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai raja kedua, dan Sultan
Trenggana, saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524 – 1546).
Dalam masa pemerintahan Raden
Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan
pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan pengamalannya, serta penerapan
musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan Raden Patah dalam
perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia melanklukkan Girindra
Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih
kekuasaan majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawan terhada
portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak. Ia mengutus
pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran
Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian
dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518.
Dalam bidang dakwah islam dan pengembangannya,
Raden patah mencoba menerapkan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan.
Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai
sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu
sepenuhnya oleh walisanga.
Di antara ketiga raja demak
Bintara, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke
masa jayanya. Pada masa trenggan, daerah kekuasaan demak bintara meliputi
seluruh jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya. Aksi-aksi militer yang
dilakukan oleh Trenggana berhasil memperkuat dan memperluas kekuasaan demak. Di
tahun 1527, tentara demak menguasai tuban, setahun kemudian menduduki Wonosari
(purwodadi, jateng), dan tahun 1529 menguasai Gagelang (madiun sekarang). Daerah
taklukan selanjutnya adalah medangkungan (Blora, 1530), Surabaya (1531),
Lamongan (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1545), serta blambangan, kerajaan
hindu terakhir di ujung timur pulau jawa (1546).
Di sebelah barat pulau jawa,
kekuatan militer Demak juga merajalela. Pada tahun 1527, Demak merebut Sunda
Kelapa dari Pajajaran (kerajaan Hindu di Jawa Barat), serta menghalau tentara
tentara portugis yang akan mendarat di sana. Kemudian, bekerja sama dengan
saudagar islam di Banten, Demak bahkan berhasil meruntuhkan Pajajaran. Dengan
jatuhnya Pajajaran, demak dapat mengendalikan Selat Sunda. Melangkah
lebih jauh, lampung sebagai sumber lada di seberang selat tersebut juga
dikuasai dan diislamkan. Perlu diketahui, panglima perang andalan Demak waktu
itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (sumatera), yang juga menjadi menantu
Sultan Trenggana.
Di timur laut, pengaruh demak
juga sampai ke Kesultanan banjar di kalimantan. Calon pengganti Raja Banjar
pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara, guna menengahi masalah
pergantian raja banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat
jawa pun masuk islam, dan oleh seorang ulama dari Arab, sang pewaris tahta
diberi nama Islam. Selama masa kesultanan Demk, setiap tahun raja Banjar
mengirimkan upeti kepada Sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan
beralih kepada Raja Pajang.
Di masa jayanya, Sultan
Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati,
Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu
sebelumnya telah diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil
mengalahkan Majapahit.
Trenggana sangat gigih memerangi
portugis. Seiring perlawanan Demak terhadap bangsa portugis yang dianggap
kafir. Demak sebagai kerajaan islam terkuat pada masanya meneguhkan diri
sebagai pusat penyebaran Islam pada abad ke 16.
Sultan Trenggan meninggal pada
tahn 1546, dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuran. Ia kemudian digantikan
oleh Sunan Prawoto. Setelah sultan trenggana mengantar Demak ke masa jaya, keturunan
sultan tersebut silih berganti berkuasa hingga munculnya kesultanan pajang.
Masjid agung Demak sebagai
lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan
Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di sanalah
tempat kesembilan wali bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.
Masjid demak didirikan oleh
Walisanga secara bersama-sama. Babad demak menunjukkan bahwa masjid ini
didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala Lawang Trus
Gunaning Janma, sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini
terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri pada
tahun 1479.
Pada awalnya, majid agung Demak
menjadi pusat kegiatan kerajaan islam pertama di jawa. Bagunan ini juga
dijadikan markas para wali untuk mengadakan Sekaten. Pada upacara sekaten,
dibunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi masjid, sehingga masyarakat
berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan gapura. Lalu para wali mengadakan
semacam pengajian akbar, hingga rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Cepatnya kota demak berkembang
menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak
lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari
Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan
dakwah islam ke seluruh Jawa.
Kesultanan Banten
Kerajaan Banten
berawal ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah
barat. Pada tahun 1526, pasukan Demak, dibantu Sunan
Gunung Jati dan puteranya, Hasanuddin,
menduduki pelabuhan Sunda, yang saat itu merupakan salah satu
pelabuhan dari kerajaan Pajajaran, dan kota Banten
Girang. Pasukan Demak mendirikan kerajaan Banten yang tunduk pada
Demak, dengan Hasanuddin sebagai raja pertama. Menurut sumber
Portugis, saat itu Banten merupakan salah satu pelabuhan kerajaan Pajajaran
di samping Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa
(kini Jakarta)
dan Cimanuk.
Sejarah
Tahun 932,
kerajaan
Sunda didirikan di bawah naungan Sriwijaya,
di kawasan Banten, dengan ibukota di Banten
Girang. Kerajaan ini berakhir tahun 1030,
dengan mungkin Maharaja Jayabupati sebagai raja terakhirnya,
yang memindahkan pusat kerajaan ke pedalaman, di Cicatih dekat Cibadak.
Setelah itu Sunda diperkirakan
jatuh di bawah kekuasaan langsung Sriwijaya. Di abad ke-12, lada
menjadi bahan ekspor yang berarti bagi Sunda.
Dalam bukunya, Zhufan Zhi (1225), Zhao
Rugua menyebut "Sin-t'o" sebagai bawahan Sriwijaya tapi
menulis bahwa "tidak ada lagi pemerintahan yang teratur di negara itu.
Penduduk menjadi perampok. Mengetahui ini, saudagar asing jarang ke sana."
Pernyataan ini menunjukkan pelemahan kekuasaan Sriwijaya, yang sendirinya juga
menjadi sarang perompak. Menurut Nagarakertagama,
setelah raja Kertanegara menyerang kerajaan Malayu tahun 1275,
Sunda jatuh di bawah pengaruh Jawa. Namun berkat lada, ekonomi Sunda berkembang
pesat di abad ke-13 dan ke-14.
Menurut Carita
Parahyangan, Banten Girang ("Wahanten Girang") diserang Pajajaran,
negara pedalaman yang juga beragama Hindu-Buddha. Peristiwa ini diperkirakan
terjadi di sekitar tahun 1400. Sunda tunduk pada Pajajaran, yang lebih
mementingkan pelabuhannya yang lain, Kalapa
(kini Jakarta)
dan mungkin satu lagi di muara Citarum. Mungkin itu sebabnya Tomé
Pires menulis bahwa pelabuhan yang paling besar di Jawa Barat adalah
Kalapa. Namun di sekitar tahun 1500, perdagangan internasional bertambah pesat
untuk lada dan membuat Sunda lebih kaya lagi.
Jatuhnya Melaka
di tangan Portugis tahun 1511 berakibatkan perdagangan terpecah belah di
sejumlah pelabuhan di bagian barat Nusantara dan membawa keuntungan tambahan ke
Sunda. Ada kemungkinan rajanya masih beragama Hindu-Buddha dan masih tunduk
pada Pajajaran. Namun berkurangnya kekuasaan Pajajaran memberi Sunda kesempatan
dan peluang yang lebih luas. Raja Sunda, yang diancam kerajaan
Demak yang Muslim, menolak untuk masuk Islam. Dia ingin bersekutu
dengan Portugis untuk melawan Demak. Tahun 1522
Banten dan Portugis menandatangani suatu perjanjian untuk membuka suatu pos di
sebelah timur Sunda untuk menjaga perbatasan terhadap kekuatan Muslim.
Tahun 1523-1524, Sunan
Gunung Jati meninggalkan Demak dengan memimpin suatu bala tentara.
Tujuannya adalah mendirikan suatu pangkalan militer dan perdagangan di bagian
barat pulau Jawa. Sunda ditaklukkannya dan rajanya diusir. Saat Portugis balik
ke Sunda tahun 1527 untuk menerapkan perjanjian dengan Sunda,
Gunungjati menolaknya. Sementara Kalapa juga direbut pasukan Muslim dan diberi
nama baru, "Jayakarta" atau "Surakarta"
("perbuatan yang gemilang" dalam bahasa Sangskerta)[1].
Banten kemudian diperintah oleh
Gunung Jati sebagai bawahan Demak. Namun keturunannya akan membebaskan diri
dari Demak. Tahun 1552, Gunung Jati pindah ke Cirebon,
di mana dia mendirikan kerajaan baru.
Jatidiri dan kegiatan Gunung
Jati lebih banyak diceritakan dalam naskah yang sifat kesejarahannya kurang
pasti sehingga terdapat banyak ketidakpastian. Boleh jadi kegiatan militer yang
dikatakan dilakukan oleh dia, sebetulnya adalah perbuatan orang lain yang oleh
Portugis dipanggil "Tagaril" dan "Falatehan" (yang mungkin maksudnya
"Fadhillah Khan" atau "Fatahillah") dan yang dalam sejumlah
cerita disamakan dengan Sunan Gunung Jati. Purwaka Caruban Nagari, suatu babad
yang dikatakan ditulis tahun 1720, membedakan Gunung Jati dari Fadhillah.
Raja Banten kedua, Hasanuddin
(bertahta 1552-1570), memperluas kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung,
yang hubungannya dengan Jawa Barat sebetulnya sudah lama. Menurut tradisi,
Hasanuddin adalah anak Gunung Jati. Dia menikah dengan seorang putri dari raja
Demak Trenggana
dan melahirkan dua orang anak.
Raja ketiga, Maulana Yusuf (bertahta 1552-1570), menaklukkan
Pajajaran di tahun 1579). Menurut tradisi, Maulana Yusuf adalah
anak yang pertama Hasanuddin. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari
Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan
setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas
Kesultanan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad
karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kesultanan Banten.
Perang ini dimenangkan oleh Banten karena dibantu oleh para ulama.
Tahun 1638
Pangeran
Ratu (bertahta 1596-1651) menjadi raja pertama di pulau Jawa yang
mengambil gelar "Sultan" dengan nama Arab "Abulmafakhir
Mahmud Abdulkadir".
Puncak kejayaan
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682)
dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada
yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa. Perdagangan laut berkembang ke
seluruh Nusantara. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten
berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.
Sultan Ageng juga memikirkan
pengembangan pertanian. Antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar
dilakukan. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga
sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu
hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani
ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makassar.
Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di tahun 1620-an, dikembangkan.
Di bawah Sultan Ageng, penduduk kota Banten meningkat dari 150 000 menjadi 200
000.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada zaman pemerintahan Sultan
Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji
kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia
yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat
perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli
perdagangan lada di Lampung.
Kesultanan Malaka
Kesultanan Melaka (1402
- 1511)
adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara,
seorang putra Melayu berketurunan Sriwijaya.
Parameswara merupakan turunan
ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila
Utama), seorang penerus raja Sriwijaya[1]. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama
dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri
Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka
Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari
Seri Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari
Majapahit.[2].
Ibu kota
kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat
Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia
Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16.
Malaka runtuh setelah ibukotanya direbut oleh Portugis
pada tahun 1511.
Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka di sebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah seorang dari sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po.[rujukan?] Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar di dunia pada masa itu untuk menghindari serangan Siam.
Sejarah
Parameswara
pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ni kemudian
diserang oleh Jawa dan Siam,
yang memaksanya pinda lebih ke utara. Kronik
Dinasti
Ming mencatat Parameswara telah tinggal di ibukota baru di Melaka
pada 1403,
tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya.
Sebagai balasan upeti yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk
memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut. [3]
Parameswara kemudian menganut agama
Islam setelah menikahi putri Pasai.[rujukan?] Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho
pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja
dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim. [4]. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[3][4]
Megat Iskandar Syah memerintah
selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah.[rujukan?] Putra Muhammad Syah yang kemudian
menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan
mengambil gelar Seri Parameswara Dewa Syah. Namun masa
pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445.
Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Di bawah pemerintahan Sultan
Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur
Sumatera (Kampar dan Indragiri).[rujukan?] Ini memancing kemarahan Siam yang
menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam.
Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.[rujukan?]
Di bawah pemerintahan raja
berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang,
dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor,
Jambi
dan Siak
juga takluk.[rujukan?] Dengan demikian Melaka mengendalikan
sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.[rujukan?]
Mansur Syah berkuasa sampai
mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah.[rujukan?] Sultan memerintah selama 11 tahun,
saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah. [5]
Mahmud Syah memerintah Malaka
sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis
di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10
Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24
Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan
dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526
Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar,
tempat dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi
sultan Perak,[rujukan?] sedangkan putranya yang lain Alauddin
Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.
Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360
ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad
ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera
dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada
pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8
September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496
- 1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan
militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem
pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.
Sejarah
Kesultanan Aceh
didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496.
Di awal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga
mencakup Daya, Pedir, Pasai,
Deli
dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera
sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun 1568.
Masa kejayaan
Kesultanan Aceh mengalami masa
keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607
- 1636).
Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis
dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa
pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain
itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari
Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan
60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat
Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil
mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan
adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan
Pahang.
Dalam lapangan pembinaan
kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama,
yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah
Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj
al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj
al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh
bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran
Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan
di antara pewaris tahta kesultanan.
Traktat
London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada
Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda
akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji
tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir November 1871,
lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas
"Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan
kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London
1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh
makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah
melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan
digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1942,
pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun
1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di
ibukota Hindia Timur Belanda (Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik
indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno
kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu
Perang Aceh
Perang
Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang
terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
set elah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883,
namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893,
pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam
dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran
kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama,
bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898,
Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai
gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus
Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar